Site icon Cakra News

Pemprov Maluku Utara Prioritaskan Pencegahan Konflik Sosial

Ambon, CakraNEWS.ID– Pemerintah Provinsi Maluku Utara menegaskan komitmennya dalam mengedepankan upaya pencegahan untuk menghindari potensi konflik sosial di wilayahnya. Hal ini disampaikan oleh Asisten III Setda Maluku Utara, Asrul Gailea, saat menyampaikan paparan dalam Rapat Koordinasi Analisis Permasalahan Bidang Penanganan dan Kontijensi Konflik Sosial di Maluku dan Maluku Utara, yang digelar di Swiss-Belhotel Ambon, Rabu (6/8/2025).

Dalam pemaparannya, Asrul menjelaskan bahwa secara geografis, Provinsi Maluku Utara memiliki wilayah yang lebih luas dari Pulau Jawa dan dihuni oleh sekitar 24 suku asli, serta lebih dari 50 kelompok etnis bila dihitung dengan pendatang.

Dari sisi ekonomi makro, Maluku Utara menunjukkan kinerja yang cukup impresif.

“Pada tahun 2024, pertumbuhan ekonomi kami mencapai 20,49 persen dan kini hampir menyentuh angka 35 persen. Tingkat kemiskinan hanya 2,8 persen, inflasi di bawah 3 persen, dan pengangguran terbuka tercatat sebesar 4,03 persen,” paparnya.

Di sektor ekspor, Maluku Utara unggul pada komoditas tambang seperti bijih besi, emas, dan nikel. Namun, neraca perdagangan masih bergantung pada pasokan dari provinsi lain seperti Jawa Timur, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan.

“Kapasitas produksi kita baru mencapai 30 persen. Sisanya, 70 persen, masih didatangkan dari luar daerah,” ungkap Asrul.

Terkait penanganan konflik sosial, Asrul menjelaskan bahwa hal tersebut telah diakomodasi dalam visi-misi Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda Laos, dan Wakil Gubernur Sarbin Sehe, khususnya pada misi keempat: Demokrasi, Stabilitas dan Investasi, yang bertujuan meningkatkan indeks demokrasi dan daya saing investasi daerah.

Asrul menegaskan pentingnya upaya sistematis dan terencana dalam menangani konflik sosial, dimulai dari tahap pencegahan.

“Jika konflik sudah terjadi, maka dilakukan penghentian konflik dan dilanjutkan dengan pemulihan pasca konflik,” jelasnya.

Strategi penanganan konflik, menurutnya, dilakukan melalui lima pendekatan utama: dialog, mitigasi, sistem peringatan dini, kesepakatan antar kelompok, dan penegakan hukum.

“Jika mediasi dan dialog tidak membuahkan hasil, maka penegakan hukum menjadi langkah terakhir,” tegasnya.

Dalam paparannya, Asrul juga menyoroti keberadaan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2018 tentang Penanganan Konflik Sosial, yang mengatur pembentukan tim terpadu untuk menangani konflik. Jenis-jenis konflik yang sering terjadi meliputi konflik antar individu, kelompok, etnis, agama, hingga politik dan ekonomi.

Ia mengidentifikasi sejumlah faktor pemicu konflik sosial, seperti perbedaan kepentingan, komunikasi yang buruk, nilai dan norma yang bertentangan, keterbatasan sumber daya, kriminalitas, hingga pengaruh media sosial.

Beberapa wilayah dengan tingkat kerawanan konflik tinggi, menurut Asrul, berada di Halmahera Tengah, Halmahera Utara, Halmahera Timur, Taliabu, dan Halmahera Selatan.

“Konflik ini banyak dipicu oleh aktivitas pertambangan yang menciptakan kesenjangan sosial dan ekonomi,” jelasnya.

Sementara itu, konflik akibat perbedaan batas wilayah sering terjadi antara Halmahera Utara dan Halmahera Barat, bahkan dalam beberapa kasus, satu desa memiliki dua kepala desa.

Namun demikian, Asrul menyebutkan bahwa Maluku Utara tidak memiliki riwayat konflik antar etnis.

“Konflik agama memang pernah terjadi pada tahun 1999, namun itu akibat migrasi konflik dari Maluku, bukan berasal dari Maluku Utara sendiri,” ungkapnya.

Ia juga menyoroti pentingnya pelibatan seluruh unsur, mulai dari Forkopimda, TNI-Polri, tokoh adat, tokoh masyarakat, hingga tokoh agama dalam penanganan konflik.

“Kami punya empat kesultanan. Pendekatan kepada tokoh adat sangat penting,” imbuhnya.

Di akhir paparannya, Asrul menyoroti perlunya perhatian pemerintah pusat terhadap persoalan Daerah Otonomi Baru (DOB), khususnya status Sofifi yang hingga kini masih berstatus desa meski sudah 26 tahun menjadi ibu kota provinsi.

“Ini harus menjadi perhatian serius pemerintah pusat. Status Sofifi yang belum dimekarkan masih menimbulkan pro dan kontra,” pungkasnya.***

Exit mobile version