Prihatin! Keluarga La Fathin Balita Gizi Buruk di Waesala Masih Bertahan Di Rumah Yang Hampir Roboh

Adventorial Lintas Nusantara Nasional News

Maluku, CakraNEWS.ID- MEMPRIHATINKAN, begitulah kondisi kehidupan yang dialami pasangan suami isteri (Pasutri) La Bondo dan Wa Nur’in kecamatan Huamual Belakang Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB).

Akibat ketiadaan biaya untuk membangun/merenovasi rumah layak huni, mereka terpaksa menempati rumah yang sudah tampak miring ke kanan jika diliahat dari depan.

Keadaan ini sudah dialami oleh pasangan Pasturi sejak tahun 2013 lalu.

Sebelumnya kondisi keluarga itu sempat ramai dibincangkan di media masa dan media sosial Januari 2020 lalu. Karena dalam rumah panggung tersebut ditemukan balita gizi buruk. Anak La Bondo dan Wa Nur’in.

Untuk mengetahui kehidupan keluarga ini, kita harus menempuh perjalanan selama kurang lebih tiga jam dari ibu kota kabupaten SBB, Kota Piru. Atau dua jam dari pelabuhan penyeberangan Ferry Waipirit menuju Dusun Ulusadar.Patokannya tidak jauh dari desa induk, desa Waesala.

Saat disambangi oleh media ini ke lokasi, team bertemu dengan ibu Wa Nur’in.Sementara suaminya La Bondo baru saja pulang dari kebun di hutan wilayah dusun tersebut.

Tak ada barang mewah dalam rumah panggung itu. Tidak ada kursi yang disediakan untuk tamu. Tak ada kamar apalagi toilet. Yang ada hanya tungku masak tradisional tengah tengada seruang ukuran rumah 6,5×3meter tersebut.

Keseharian La Bondo (Ayah Fatin) hanya mengandalkan kerja serabutan untuk menghidupi keluarganya. Jika sempat dia melaut dan kadang menjadi petani dan sesekali kuli bangunan.

Penghasilan yang tidak seberapa membuat La Bondo kesulitan memberikan hunian yang layak pada keluarga kecilnya.

Rumah keluarga La Bondo berkerangka kayu berdinding gaba-gaba (pelepah sagu). Rumah panggung itu tampak dari jauh terlihat miring petanda tidak pernah direnovasi sejak dibangun.

Kepada wartawan, perempuan ini menceritakan perjalanan hidup keluarganya menempati gubuk yang dibangun tepat di markas nyamuk alias diatas rawa.

Wa Nur’in pun mengaku ankanya bernama La Fathin Akhir tahun 2019 lalu hingga pertengahan 2020 divonis sakit gizi buruk.

Perempuan 53 tahun itu mengaku, selama ini keluarganya mengalami kesulitan ekonomi karena pendapatan suami (La Bondo) dibawah rata-rata. Puncaknya di tahun-tahun 2016 hingga sekarang.

“Kalau musim hujan atau angin, pasti ada rasa was-was. Kondisi rumah ini kapan saja bisa rubu (roboh). Was-was karena ada bayi kita. Tapi mau bagaimana. Karena keaadan ekonomi katong (kita) maka harus bisa menerima dan menjalani saja,” ungkapnya lirih.

Ibu Nur’in mengatakan, sejak anaknya divonis sakit gizi buruk, banyak yang bicara untuk bantu. Baik bantu berobat anak maupun bantu perbaikan rumah.

“Katong (kita) hanya dengar-dengar saja pemerintah. Tapi sampe ini belum. Sementara ade La Fathin sudah bae (sembuh),” ungkapnya.

Baik Wa Nur’in maupun sang suami, La Bondo sangat berharap, adanya bantuan berupa perbaikan rumah layak huni.

SEMENTARA itu, Ibra Ahmad tokoh muda kabupaten bertajub Saka Mese Nusa saat dimintai tanggapannya mengaku prihatin melihat ketimpangan nyata di kabupaten SBB.

Dirinya mengendus, perlu perhatian cepat dari pemerintah setempat untuk melihat Rumah keluarga La Fathin.

“Saya kebetulan sudah melihat langsung keadaan rumah itu. Rumahnya melompong begitu saja. Dipastikan jika hujan deras dan angin, jelas sekali keluarga la Fathin akan mengalami kesulitan,” tegasnya.

Ibra juga mengaku, pertama kali menginjakan kaki di lantai rumah muncul rasa was-was karena takut patah. Dia melirik sejumlah tiang dan anyaman bambu sebagai lantai sudah mulai lapuk.

“Maknya pertama kali masuk saya sangat hati-hati takut ada yang patah,”akuinya.

Magister jebeloan Universitas Marcu Buana ini menjelaskan, ketimpangan sosial merupakan pembedaan kelas sosial akibat adanya ketidakseimbangan dalam kehidupan masyarakat. Dampak dari ketimpangan inilah kemiskinan, pengangguran, kecemburuan sosial, dan meningkatnya kriminalitas.

Penyebab ketimpangan bisa berasal dari diskriminasi, primordialisme, dan sesksime. Upaya untuk mengurangi ketimpangan sosial mestinya dengan memberikan pendidikan gratis dan memperbanyak lapangan pekerjaan.

“Nah korelasinya untuk keluarga ini, mestinya, pemerintah memastikan kehidupan yang layak masyarakatnya dengan membuka lapangan kerja. Apalagi ketidak pekaan pemerintah saat ini menambah deretan panjang kemirisan warga masyarakat di SBB,” pungkasnya.* CNI-02

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *