Respons Intelektual MuslimTerhadap Penafsiran Radikalisme Dan Terorisme

Pendidikan

Respons Intelektual Muslim Terhadap Penafsiran Radikalisme Dan Terorisme Yang Mengetasnamakan Islam Dan Jihad (Erwin Notanubun, M.Hum)

Opini, CakraNEWS.ID– Ibarat tanaman, terorisme di Indonesia telah menjelma sebagai tanaman yang tumbuh subur.patah tubuh hilang berganti. Di beberapa tahun silam setelah Dr. Azhari tertembak  mati, masih ada Noordin M.Top yang kemudian tewas dalam baku tembak di Solo Jawa Tengah. kini masih ada “pengantin-pengantin” (calon pelaku pengeboman bubh diri) lain yang masih menghirup udara bebeas.

Sebagaimana telah terjadi baru baru ini, di mana satu jasad diduga pelaku bom bunuh diri Gereja Katedral Makassar ditemukan petugas kepolisian di lokasi ledakan di depan Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu (28/3/2021), 10.35 WITA. “Saat ini yang dapat kita pastikan, ada satu jasad yang diduga pelaku bom bunuh diri di lokasi kejadian,” kata Kapolda Sulawesi Selatan Irjen Merdisyam, dilansir dari KompasTV. Merdisyam menambahkan, terduga pelaku tiba menggunakan sepeda motor masuk ke area parkir gereja Tidak. ada jaminan langkah mereka terhenti. Sebeb itu, semua pihak menghimbau agar pemerintah dan masyarakat tidak lengah dengantumbuh suburnya terorisme.

Terorisme bukan persoalan pelaku. Terorisme lebih terkait keyakinan teologis. Artinya, pelakunya bisa ditangkap, bahkan dibunuh, tetapi keyakinannya tidak mudah untuk ditaklukan. Sejarah membuktikan, usia keyakinan tersebut seumur usiaagama itu sendiri. Pada zaman  Nabi Muhammad SAW ada kelompok-kelompok yang taat beribadah, tetapi gemar melaksanakan aksi kekerasan, seperti yang dilakukan khawarij. Kini, di zaman modern ini, muncul Wahabisme yang juga menawarkan ketaatan agama di satu sisi dan kekerasan disisi lain. Islam tidak memuali serangan terhadap orang-orang yang tidak memerangi terlebih dahulu, dimana yang duluan melakukan penyerangan harus ada negosiasi terlebiuh dahulu, diaman hal tersebut ditegaskan dalam Al-Qur’an surat at-Taubah ayat 29, adalah merupakan bentuk devensif bukan ofensif yakni kalau dalam keadaan terancam karena mau diserang musush, dan terpaksa untuk mempertahankan kehidupan dari ancaman.

Dalam al-Qur’an ditekankan bahwa perangpun harus diperhatikan bahwa yang berhak mengumumkan dan memutuskan perang itu adalah dari suatu institusi pemerintahan/pemimpin pemerintahan suatu Negara, bukan dari pemimpin kecil atau institusi kelompok.

Dalam ayat-ayat yang berbicara terkait jidah pada periode Mekah, tidak satupun terma jihad yang menunjukkan pengertian konfrontasi fisik (perang) terhadap musuh yang jelas, tetapi lebih mengisyaratkan pada pengertian pengorbanan manusia dalam hubungan vertikalnya dengan Tuhan.

Mengambil sikap tidak patuh kepada orang kafir dan menyampaikan pesan-pesan ajaran Al-Qur’an kepada mereka, sudah dipandang sebagai jihad, bahkan dianjurkan agar berjihad  total. Kepentingan jihad adalah untuk kepentingan diri sendiri, siapa yang mau berjihad, maka akan ditunjukkan Tuhan jalan hidup yang baik.

Dewasa ini, istilah jihad hampir-hampir telah menimbulkan persepsi yang mengandung unsur pejorative. Ini disebabkan, karena istilah tersebut dipakai dalam kaitannya dengan peristiwa kerusuhan sosial pada 1970-an di Indonesia yang disebut sebagai gerakan “Komando Jihad”. Tidak diketahui secara persis, apakah nama itu dipakai oleh kelompok yang bersangkutan, ataukah hanya penamaan dari luar yang merupakan bagian dari rekayasa politik-militer. Apabila hal pertama yang benar, maka pemakaian itu berarti mereduksi, bahkan mendegradasi, penegertian jihad. Sedangkan hal kedua telah menimbulkan ketakutan masyarakat luas untuk memakai istilah itu.

Mememang ada ayat yang mengarah kepada kekerasan seperti kalimat turhibun “irhab/terror” dalam ayat alqur’an itu dipahami oleh pelaku terror tadi seolah-olah al-qur’an mengizinkan berbuat irhab/teror kepada musuh-musuh Allah, tetapi adalah menjadi masalah adalah ketika identitas identifikasi para terroris terhadap siapa yang dimaksud dengan musuh Allah itu, kemudian tidak mempertimbangkan berbagai aspek lain maka akan menjadi berbahaya, sehingga mengakibatkan timbulnya pelaku di mana setiap orang yang danggap musuh Allah boleh dilakukan “irhab/teror”.

Maka kalau ayat di atas yang dihubungkan dengan hadis nabi الْمسلمُ من سَلمَ الْمسلمونَ من لسانهِ ويدهِ yang artinya seorang muslim (yang baik) adalah kaum muslimin selamat dari keburukan lisan dan tangannya”. (HR. Bukhari no 10). Artinya bahwa  “ciri seorang muslim salah satunya adalah sifatnya yang selalu menghadirkan rasa aman bagi siapapun yang berada disekitarnya”, adalah sesuatu yang bertentangan, alasannya karena sesungguhnya orang muslim itu adalah orang yang bisa membuat orang-orang Islam dan manusia lainnya merasa aman dan selamat dari gangguan lisan dan tangannya, paling tidak adalah dengan tangannya. Karena Islam bila dikembalikan pada batasan universal maka nilai Islam itu adalah yang cinta damai, cinta keselamatan dan kasih sayang.

Jihad merupakan usaha sungguh-sungguh dengan mencurahkan segala daya dan upaya untuk menegakkan kebajikan. Jihad dalam Islam tidak berhadapan vis-à-vis komunitas non Muslim, seperti tercermin dalam jihad Nabi Muhammad s.a.w yang membentang sepanjang periode risalahnya dalam berbagai bentuk. Di Madinah Nabi s.a.w bekerja sama dengan kelompok-kelompok yang ada di sana melalui Piagam Madinah dan berperang menghadapi tindakan agresi dari pihak orang-orang Makkah, dapat mengambil alih kota Makkah tanpa pertumpahan darah. Jihad perang dilakukan Nabi Muhammad s.a.w dan kaum muslimin untuk membela dan mempertahankan diri (defensive); bukan untuk menaklukan dan menguasai pihak lain (ofensif).

Dari segi bahasa, terma jihad dalam al-Qur’an dengan sejumlah kata turunnya berasal dari kata jahd atau juhd. Kata jahd dalam al-Qur’an terulang sebanyak 5 kali. Sedangkan juhd hanya 1 kali saja. Kata jahd biasanya diterjemahkan dengan sungguh-sungguh atau kesungguhan, letih atau sukar dan sekuat-kuat. Adapun kata juhd biasanya diterjemahkan dengan kamampuan, kesanggupan, upaya dan ketakutan.

Secara merfologis, terma jihad berasal dari kata kerja jahada-yujahidu, yang berarti mencurahkan daya upaya atau bekerja keras, pengertian ini pada dasarnya menggambarkan perjuangan keras atau perjuangan maksimal yang dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan sesuatu dan menghadapi sesuatu yang mengancam dirinya.

Dari segi bahasa, terma jihad dalam al-Qur’an dengan sejumlah kata turunnya berasal dari kata jahd atau juhd. Kata jahd dalam al-Qur’an terulang sebanyak 5 kali. Sedangkan juhd hanya 1 kali saja. Kata jahd biasanya diterjemahkan dengan sungguh-sungguh atau kesungguhan, letih atau sukar dan sekuat-kuat. Adapun kata juhd biasanya diterjemahkan dengan kamampuan, kesanggupan, upaya dan ketakutan.

Secara merfologis, terma jihad berasal dari kata kerja jahada-yujahidu, yang berarti mencurahkan daya upaya atau bekerja keras, pengertian ini pada dasarnya menggambarkan perjuangan keras atau perjuangan maksimal yang dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan sesuatu dan menghadapi sesuatu yang mengancam dirinya.

Secara epistemology, jihad adalah mengarahkan segala kemampuan, sukar, sulit, dan letih. Kata jihad merupakan bentuk masdhar dari kata jahada  yang mengandung makna musyarakah. Namun dalam pemaakaiannya, pemahaman tentang jihad secara terminologis seringkali disalahpahami oleh pemakai sitilah tersebut.

Secara semantic memiliki makna yang luas, mencakup semua usaha yang dilakukan dengan kesungguhan yang sangat untuk mendapatkan sesuatu atau menghindarkan diri dari sesuatu yang tidak diinginkan. Sehingga jihad sebagai salah satu ajaran Islam dapat dipahami dengan benar dan sesuai dengan proposisi yang sebenarnya, dan tidak hanya dipahami dalam cakupan yang sempit atau dalam arti perang, seperti yang banyak dipahami oleh para ahli.

Secara etimologis, maka semua kegiatan yang dilakukan dengan kesungguhan dalam koridor yang benar atau dalam masalah kebaikan termasuk ke dalam konteks jihad dan tidak hanya dalam konteks perang. Pemahaman yang terakhir bertentangan dengan salah satu sabda Rasulullah saw yang secara eksplisit menyatakan jihad telah dimulai semenjak Muhammad saw diutus oleh Allah swt sebagai Rasul.

Al-qur’an itu kitab rahmat toriqoh, dan al-qur’an itu adalah rahmat itu sendiri, dan rahmat itu memberikan kebaikan yang aktual termasuk hukum-hukumnya. Selanjutnya, al-qur’an itu sendiri uluhiyah dan rububiyah yani Tuhan itu ketika berhubungan dengan manusia adalah dengan rahmah, sehingga uluhiyah itu uluhiyah yang rohmaniyah, rohimiyah. Maka rububiyah yang romaniya rohimiyah ketuhanannya itu memberikan kebaikan yang banyak, kalau seperti itu maka kemudian memperlakukan al-qur’an sebagai kitab yang harus dipahami secara kontekstual dan tidak dipahami secara tekstual dan literal.

Sejarah panjang umat Islam di berbagai belahan dunia, seperti halnya di Indonesia, dalam melakukan perlawanan terhadap kolonialisme berkaitan dengan doktrin jihad fi sabilillah yang antara lain merujuk fakta historis jihad pada masa Rasulullah (SAW) di Badr, dan Uhud. Dalam perkembangannya jihad mengalami reduksi sebatas perang yang bahkan kemudian berkaitan dengan kegiatan terorisme.

Kesimpulannya, terorisme merupakan bagian dari kepemilitan ummat Islam. Para teroris itu telah melakukan tindakan kekerasan disebabkan kurang sadar akan perubahan zaman. Perubahan zaman mengakibatkan mereka ingin mengembalikan Islam itu persis seperti di zaman Nabi dulu. Terorisme memang telah didesain oleh orang lain, tidak murni dari Islam, sebagian kecil dari orang Islam yang mempunyai kecenderungan seperti itu, sehingga hal tersebut dimanfaatkan oleh orang lain. Pandangan sekelompok orang yang mengaitkan Islam dengan terorisme adalah bertentangan dengan fakta sejarah.

Adapun pakar intelektual muslim berpandangan bahwa penafsiran para teroris atau radikalis muslim dalam menginterpretasi teks-teks al-Qur’an maupun Hadis adalah tidak secara utuh, yang artinya interpretasi yang parsial atau atomistik yang mengantarkan mereka pada aksi-aksi terror.***

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *