Ambon, CakraNEWS.ID– Maluku menghadapi ancaman kehilangan salah satu investasinya yang paling strategis. PT. Spice Islands Maluku (PT. SIM), perusahaan pengelola perkebunan pisang abaka di Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) dengan nilai investasi sekitar Rp600 miliar, mengisyaratkan akan menghentikan operasinya.
Ancaman hengkang ini mencuat akibat sengketa lahan berkepanjangan dengan warga Dusun Pelita Jaya, Desa Eti, serta pernyataan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) SBB yang menyebut izin perusahaan bermasalah.
Situasi tersebut dinilai PT. SIM sebagai bentuk ketidakpastian hukum dan minimnya dukungan pemerintah daerah.
Gubernur Maluku, Hendrik Lewerissa, menegaskan komitmennya untuk menjaga keberlangsungan investasi yang sesuai aturan dan bermanfaat bagi masyarakat.
“Pemerintah provinsi akan berbicara dengan manajemen PT. SIM agar tidak menarik diri. Kami akan menciptakan iklim investasi yang sehat dan positif,” tegasnya di Ambon, Rabu (13/8).
Sebagai langkah awal, Gubernur menyatakan akan memanggil Bupati SBB untuk meminta klarifikasi terkait hambatan yang dihadapi perusahaan.
Langkah ini diambil untuk memastikan koordinasi antara pemerintah provinsi dan kabupaten dalam menyelesaikan persoalan tersebut.
Kekecewaan PT. SIM disampaikan langsung oleh Direktur Dorra Rustam melalui surat resmi kepada Bupati SBB, Asri Arman.
Dalam surat yang kini beredar luas di media sosial itu, Dorra menegaskan bahwa investasi seharusnya dipandang sebagai kemitraan, bukan sebagai beban.
“Investasi di daerah seharusnya mendapat dukungan pemerintah dan dipandang sebagai mitra, bukan sebaliknya,” tulisnya.
Perusahaan juga menyertakan sejumlah dokumen resmi yang memperkuat klaimnya, termasuk surat Bupati SBB terkait penangguhan penggusuran lahan, surat dari DPMPTSP Provinsi Maluku, serta undangan rapat koordinasi penyelesaian lahan dari DPRD SBB.
Jika PT. SIM benar-benar hengkang, SBB terancam kehilangan ribuan lapangan kerja, peluang ekspor komoditas abaka, dan sumber pemasukan daerah.
Lebih jauh, kasus ini dapat merusak citra Maluku di mata investor nasional maupun internasional, memicu keraguan terhadap kepastian hukum dan iklim investasi di daerah tersebut.***