KNPI Buru Desak Penindakan Dugaan Penggunaan Ekskavator di WPR Kaiely: Minta Pemprov Cabut Izin Jika Terbukti Langgar Aturan

Adventorial News

Namlea, CakraNEWS.ID– Dugaan penggunaan alat berat berupa ekskavator dalam aktivitas penambangan di Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) Desa Kaiely, Kecamatan Teluk Kaiely, Kabupaten Buru, menuai perhatian serius dari Dewan Pengurus Daerah Komite Nasional Pemuda Indonesia (DPD KNPI) Kabupaten Buru.

Ketua DPD KNPI Buru, Almuhajir Sipier Miru, menegaskan pihaknya tengah mempersiapkan laporan resmi kepada sejumlah lembaga terkait, termasuk Kementerian ESDM, Direktorat Jenderal Minerba, Inspektur Tambang, Gakkum KLHK, Komisi VII DPR RI, dan Ombudsman RI.

“Kami tidak menggeneralisasi seluruh 10 koperasi pemegang IPR. Namun, dokumentasi yang menunjukkan keberadaan ekskavator di lokasi WPR menjadi indikasi awal yang cukup kuat. Jika terbukti, maka Pemprov Maluku harus mencabut izin koperasi yang melanggar aturan,” ujar Almuhajir.

Ia menyebutkan bahwa lebih dari satu koperasi diduga menggunakan ekskavator, dan menilai tidak ada dasar teknis yang membenarkan kehadiran alat berat tersebut di WPR Maluku.

“Kami mendesak Pemprov Maluku untuk segera memeriksa seluruh IPR yang melibatkan ekskavator di lokasi. Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan dugaan pelanggaran prosedur dengan niat yang disengaja. Evaluasi dan pencabutan izin harus menjadi langkah tegas,” tegasnya.

Merujuk Keputusan Menteri ESDM RI Nomor 148.K/MB.01/MEM.B/2024, metode penambangan yang diperbolehkan di WPR Maluku terbatas pada penggunaan alat semprot-sedot hidromekanik. Ekskavator tidak termasuk dalam daftar peralatan yang diizinkan.

Struktur tenaga kerja yang tercantum dalam dokumen WPR Maluku juga tidak mencantumkan operator ekskavator, melainkan terdiri dari 1 Kepala Teknik Tambang, 4 operator alat hidromekanik, 5 petugas pengambilan karpet, dan 5 tenaga pembantu.

Sebagai perbandingan, dokumen WPR Jambi mengizinkan penggunaan ekskavator dalam kondisi tertentu, terbatas satu unit per IPR dengan ketentuan teknis yang ketat—berbeda dengan regulasi yang berlaku di Maluku.

Berdasarkan Permen ESDM No. 26 Tahun 2018 Pasal 45, pemegang IPR diwajibkan menyusun dan melaporkan rencana penambangan dalam waktu tiga bulan setelah izin diterbitkan. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat berujung pada pencabutan izin.

Selain itu, kegiatan penambangan yang berdampak pada kerusakan lingkungan dapat dijerat dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), yang memuat ancaman pidana hingga 10 tahun penjara dan denda maksimal Rp10 miliar.

KNPI Buru menegaskan bahwa WPR adalah ruang legal bagi masyarakat untuk melakukan pertambangan dengan teknologi sederhana, ramah lingkungan, dan berkelanjutan.

“WPR bukan ruang bagi industrialisasi tambang bermodal besar. Jika koperasi melanggar prinsip-prinsip dasar ini, maka harus dievaluasi dan, bila perlu, dicabut izinnya,” pungkas Almuhajir.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *