Ambon, CakraNEWS.ID– Dalam pentas politik nasional, nama Jenderal (Purn.) Nono Sampono bukanlah sosok asing. Latar belakang militer yang mentereng, jabatan sebagai Komandan Korps Marinir, hingga posisinya sebagai Wakil Komandan Satgas Laut saat operasi pembebasan sandera di Somalia, menjadikan dirinya figur yang dihormati secara nasional.
Setelah pensiun dari militer, ia memilih jalur politik dan berulang kali terpilih sebagai anggota DPD RI dari Dapil Maluku. bahkan sempat menjabat sebagai Wakil Ketua DPD RI.
Namun, dari balik sederet jabatan dan penghargaan, muncul pertanyaan mendasar, apa yang telah diperjuangkan dan dikontribusikan Nono Sampono untuk rakyat Maluku, tanah yang mengantarnya ke panggung kekuasaan nasional?
Kemenangan Berulang, Janji yang Berulang
Terpilih berkali-kali sebagai wakil Maluku tentu bukan perkara sepele. Artinya, ada kepercayaan publik yang cukup besar terhadap nama dan figur Nono Sampono.
Namun sayangnya, banyak masyarakat Maluku merasa bahwa kepercayaan itu belum sepenuhnya dibalas dengan kerja nyata. Sejumlah aktivis, tokoh muda, dan akademisi mempertanyakan. Apa kebijakan konkret atau program pro-rakyat yang diperjuangkan Nono untuk Maluku selama duduk di Senayan?
Maluku bukan hanya tentang keindahan laut dan budaya, tapi juga tentang kemiskinan struktural, keterisolasian wilayah, terbatasnya akses pendidikan dan kesehatan, serta minimnya representasi dalam pengambilan kebijakan pusat.
Dalam posisi strategis di DPD RI, mestinya ia bisa menjadi jembatan suara Maluku yang selama ini terpinggirkan. Tapi sayangnya, sorotan atas kiprahnya untuk Maluku masih redup baik dalam pemberitaan nasional maupun dalam percakapan masyarakat lokal.
Wakil Rakyat atau Wakil Kekuasaan?
Istilah jajan suara di Maluku, tapi hati di Jakarta”bukan sekadar ungkapan sinis, tapi refleksi kekecewaan rakyat terhadap wakil-wakil yang hanya hadir saat kampanye. Nono Sampono dianggap sebagai wakil elit yang lebih nyaman di ruang-ruang kekuasaan Senayan ketimbang turun langsung ke desa-desa terpencil di Maluku.
Beberapa warga menyebut bahwa setelah pemilu, kehadiran fisik maupun aspiratif beliau nyaris tidak terasa. Alih-alih menjadi pembela kepentingan daerah, ia justru lebih dikenal dalam forum-forum nasional tanpa jejak advokasi signifikan untuk isu-isu lokal seperti:
- Konflik agraria dan perizinan tambang di wilayah adat Maluku.
- Kesejahteraan nelayan dan kebijakan zona ekonomi eksklusif.
- Konektivitas antarpulau yang masih jauh dari merata.
Masih Ada Waktu untuk Membalikkan Keadaan
Sebagai anggota DPD RI yang masih aktif, Nono Sampono belum terlambat untuk menunjukkan bahwa dirinya bukan sekadar politisi dengan label dari Maluku, tapi benar-benar wakil rakyat Maluku.
Nono bisa mendorong berbagai hal seperti, Mendorong RUU atau kebijakan afirmatif untuk wilayah kepulauan. Menginisiasi forum strategis antara DPD dan pemerintah daerah di Maluku untuk menjembatani perencanaan pembangunan. Juga aktif turun ke lapangan, mendengar langsung keluhan masyarakat, bukan hanya menyerap informasi dari elite birokrasi lokal.
Antara Legitimasi dan Legacy
Kepercayaan rakyat Maluku telah mengantar Nono Sampono ke Senayan berulang kali. Tapi legitimasi elektoral tanpa legacy substantif hanyalah formalitas belaka.
Jika Jenderal Nono ingin dikenang bukan sekadar sebagai politisi asal Maluku, tapi sebagai pejuang untuk Maluku, maka waktunya untuk membuktikan adalah sekarang bukan nanti, bukan hanya saat kampanye.
Karena pada akhirnya, sejarah akan mencatat apakah ia benar-benar mewakili rakyat Maluku, atau hanya menumpang nama Maluku demi kekuasaan di Jakarta.***