Berita Bukan Alat Kepentingan, Narasumber Kredibel dalam Menjaga Martabat Informasi

Opini Pendidikan
  • Jangan percaya berita tanpa sumber yang jelas. Kredibilitas adalah segalanya. Media harus mendidik, bukan memanipulasi.***

Oleh: Fahrul Kaisuku | Ketua Umum Lembaga Pers Mahasiswa IAIN Ambon 2014-2015

Ambon, CakraNEWS.ID– Dalam era informasi seperti saat ini, di mana kabar bisa tersebar dalam hitungan detik hanya melalui ponsel, tanggung jawab terhadap isi dan sumber berita menjadi sangat besar. Kita hidup dalam masa di mana setiap orang bisa menjadi “penyampai berita,” tetapi tidak semua bisa menjadi jurnalis sejati. Di tengah kemudahan ini, kita justru menyaksikan paradoks: berita mudah dibuat, tetapi kebenaran makin sulit dicari.

Salah satu penyebab utama dari membanjirnya informasi yang menyesatkan adalah absennya narasumber yang kredibel dalam pemberitaan.

Kita sering menemukan berita yang dibagikan tanpa klarifikasi, hanya bermodal “katanya,” “viral di media sosial,” atau bahkan hanya cuplikan video yang dipotong sedemikian rupa untuk membentuk narasi tertentu. Ketika berita ditulis tanpa menyertakan sumber yang sahih, maka yang dihadirkan bukan informasi, melainkan asumsi.

Narasumber kredibel bukan sekadar pelengkap formal dalam berita, tetapi penjaga integritas isi. Mereka adalah individu atau lembaga yang punya kapasitas, keahlian, dan otoritas untuk bicara di bidangnya. Misalnya, dalam isu hukum, sumber tepercaya bisa berupa akademisi hukum, aparat penegak hukum, atau praktisi. Dalam urusan kesehatan, tentu yang layak dikutip adalah dokter, ahli epidemiologi, atau lembaga resmi seperti WHO atau Kementerian Kesehatan. Tanpa narasumber yang kredibel, berita tak ubahnya kabar burung.

Namun, kita juga tidak bisa serta-merta menyalahkan semua pihak. Harus diakui, tidak sedikit yang terjerumus dalam praktik pemberitaan yang keliru karena tidak memahami sepenuhnya etika dan tanggung jawab jurnalistik.

Ada oknum yang menjadikan berita sebagai alat untuk menyenangkan pihak tertentu, menyudutkan lawan, atau bahkan meraih sensasi demi keuntungan ekonomi sesaat. Mereka menggunakan media sebagai panggung kekuasaan, bukan sebagai saluran edukasi atau advokasi publik.

Untuk kelompok seperti ini, kita bisa bersikap tegas, tetapi tetap manusiawi. Kita bisa memahami bahwa sebagian dari mereka mungkin berangkat dari ketidaktahuan, dari dorongan untuk “ikut arus,” atau dari tekanan pekerjaan yang menuntut kecepatan tanpa memperhitungkan akurasi.

Dalam banyak kasus, bukan semata-mata niat buruk yang jadi akar masalah, tetapi budaya kerja dan sistem yang belum sehat.

Namun, di sisi lain, kita tetap tidak bisa membiarkan situasi ini terus berlangsung. Memaafkan bukan berarti membenarkan. Di sinilah pentingnya edukasi, pelatihan, dan pembenahan sistem media.

Para pelaku media harus kembali kepada nilai dasar jurnalisme: verifikasi, keakuratan, keberimbangan, dan kejujuran. Sementara itu, publik juga harus dilatih menjadi konsumen informasi yang cerdas dan tidak mudah terprovokasi.

Literasi media menjadi kunci utama untuk memperbaiki ekosistem informasi kita. Pembaca perlu dibekali kemampuan untuk membedakan berita yang dapat dipercaya dari hoaks atau manipulasi. Mereka harus diajak untuk bertanya: Apakah ini berita atau opini? Siapa narasumbernya? Apakah ini bisa diverifikasi di sumber lain? Sikap kritis inilah yang akan mendorong media untuk memperbaiki diri.

Kita juga tidak boleh melupakan peran negara dan lembaga pengawas media. Peraturan harus ditegakkan dengan adil. Media yang konsisten menyebarkan informasi palsu atau tanpa sumber tepercaya harus diberi peringatan, bahkan sanksi. Tapi pada saat yang sama, kebebasan pers harus tetap dijaga. Kita tidak sedang bicara soal membungkam suara, tapi membenahi cara menyuarakan kebenaran.

Akhirnya, semua pihak harus sadar bahwa berita bukan alat kepentingan, melainkan cermin integritas sebuah bangsa. Ketika berita dijaga oleh jurnalis yang bermoral dan disusun dengan sumber yang sahih, maka masyarakat akan tumbuh dalam kesadaran dan kedewasaan.

Namun, ketika berita dijadikan alat kekuasaan atau alat balas dendam politik, maka kepercayaan publik akan runtuh, dan demokrasi menjadi rapuh.

Mari kita dorong lahirnya budaya informasi yang sehat. Bagi yang belum memahami, mari kita bimbing. Bagi yang menyalahgunakan, mari kita tegur. Dan bagi kita semua—baik sebagai penulis, pembaca, atau penyampai informasi—mari kita renungkan: Apakah informasi yang kita sebarkan mendidik, atau justru menyesatkan?

Karena pada akhirnya, informasi adalah kekuatan. Dan seperti semua kekuatan besar, ia harus digunakan dengan tanggung jawab, kejujuran, dan rasa hormat terhadap kebenaran.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *