Ambon, CakraNEWS.ID– Di tengah debur ombak Laut Seram, anak-anak dan remaja Desa Latu, Kecamatan Amalatu, Kabupaten Seram Bagian Barat, tampak menari lincah di atas papan selancar. Ada yang masih berseragam sekolah, ada pula yang bertelanjang kaki dengan rambut basah diterpa angin. Mereka tidak sedang bermain biasa, melainkan mengikuti Lawe Kokohu Latu 2025, lomba surfing perdana yang digelar bertepatan dengan Hari Laut Sedunia, Sabtu (8/6).
Puluhan peserta dari tingkat SD hingga SMA turut ambil bagian dalam perlombaan yang diinisiasi oleh SMA Negeri 15 Seram Bagian Barat.
Tidak sekadar kompetisi, momen ini juga menjadi panggung bagi warisan budaya bahari yang selama ini hidup diam-diam di desa yang terletak di pesisir barat Pulau Seram.
“Inilah jati diri kami. Surfing bagi anak-anak Latu bukan hal baru, ini tradisi kami sejak lama,” kata Kepala SMA Negeri 15 SBB, Achmad Wakano, dalam sambutannya.
Lawe Kokohu, dalam bahasa lokal, berarti berselancar. Bagi masyarakat Latu, aktivitas ini bukan sekadar olahraga air, tetapi perwujudan hubungan spiritual dan harmonis dengan laut.
Anak-anak tumbuh dengan kebiasaan meluncur di atas ombak menggunakan papan buatan tangan dari kayu ringan seperti pule atau waru. Tak ada sirip, tak ada fiberglass. Hanya kayu, laut, dan nyali.
Menurut Wakano, Desa Latu menyimpan kekayaan bahari yang belum banyak dikenal dunia luar. Salah satunya adalah garis pantai yang panjang dan ombak menantang, khususnya saat angin timur datang antara Mei hingga Agustus. Kondisi ini menjadikan Latu sebagai surga tersembunyi bagi para peselancar, meskipun tanpa papan modern.
“Papan-papan selancar mereka dipahat sendiri, disesuaikan dengan tinggi badan. Tidak ada teknologi modern, tapi semangat dan teknik mereka luar biasa,” ujar Wakano bangga.
Lomba ini pun disambut antusias oleh masyarakat. Di tepi pantai, para orang tua dan tokoh adat berdiri berdampingan dengan guru-guru, tokoh pemuda, bahkan Rektor UIN A.M. Sangadji, Abidin Wakano, yang turut hadir membuka acara.
Mereka tidak hanya datang untuk menyaksikan perlombaan, tetapi juga untuk merayakan identitas.
“Surfing ini bukan budaya impor. Ini warisan nenek moyang kami. Kami ingin dunia tahu bahwa di ujung Seram, kami punya cara sendiri mencintai laut,” ucap salah satu tokoh pemuda setempat.
Pantai Latu memang menyimpan banyak spot potensial, seperti Tuha Totunnyo, Namo, Rihumbari, Wai Leleuro hingga Kiroku. Spot-spot itu selama ini menjadi arena bermain sekaligus pelatihan fisik bagi anak-anak desa. Di sanalah mereka belajar bertahan di tengah ombak, menjaga keseimbangan, dan membentuk karakter.
Lebih dari sekadar kegiatan, Lawe Kokohu juga menjadi pintu masuk untuk memikirkan masa depan. Wakano menegaskan bahwa pengembangan olahraga selancar tradisional bisa menjadi lokomotif baru bagi wisata bahari berbasis budaya lokal.
Tidak hanya mengangkat nama Latu ke pentas nasional, tetapi juga membuka peluang ekonomi kreatif, edukasi lingkungan, hingga pemberdayaan pemuda.
“Kalau dikelola dengan baik, Desa Latu bisa jadi destinasi surfing unggulan di Indonesia timur. Bukan hanya karena ombaknya, tapi karena ceritanya,” tandas Wakano.
Wakano berharap, kegiatan ini mendapat dukungan dari pemerintah kecamatan dan Negeri Latu agar bisa menjadi agenda tahunan. *** CNI-03