Ambon, CakraNEWS.ID– Dugaan praktik mafia tanah di Kota Ambon kembali mencuat dan menimbulkan kegelisahan publik. Tanah di sepanjang Jalan Jenderal Sudirman yang secara sah tercatat sebagai aset Pemerintah Provinsi Maluku diduga digadaikan melalui permainan sejumlah oknum di tubuh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Ambon.
Persoalan ini memicu aksi unjuk rasa mahasiswa dan masyarakat yang tergabung dalam tiga aliansi, yakni DPC Garda NKRI Kota Ambon, Front Demokrasi Maluku, dan Koalisi Ambon Transparan. Mereka menggelar aksi bertajuk “Bongkar Mafia Tanah” di tiga lokasi berbeda, yaitu Kantor BPN Kota Ambon, Kejaksaan Tinggi Maluku, serta Kantor Gubernur Maluku, Jumat (19/9/2025).
“Kami, mahasiswa Maluku yang juga bagian dari masyarakat, tidak bisa tinggal diam menyaksikan perampasan aset negara yang terang-terangan berlangsung di depan mata. Negara yang seharusnya melindungi kepentingan rakyat justru dicederai oleh aparat yang menyalahgunakan kewenangan,” tegas Mujahidin Buano, salah satu orator aksi.
Ia menekankan, mafia tanah bukan sekadar persoalan jual beli lahan, melainkan kejahatan terorganisir yang merusak kedaulatan negara, menghancurkan tatanan hukum, serta merampas masa depan generasi muda. Aksi ini, lanjutnya, menjadi perlawanan moral, politik, dan intelektual mahasiswa serta masyarakat terhadap praktik mafia tanah di Kota Ambon.
Massa aksi menyoroti lahan di sepanjang Jalan Jenderal Sudirman, mulai dari Kali Wairuhu (Galala) hingga Kali Batu Merah. Menurut mereka, aset negara yang telah diganti rugi sejak 1979 oleh Pemerintah Provinsi Maluku kini dipermainkan melalui sertifikat bermasalah.
Salah satu kasus yang diangkat sebagai studi objek adalah tanah keluarga Kolonel Pietrs seluas 6.847 meter persegi. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.413 meter persegi telah dibayarkan ganti rugi oleh pemerintah pada 1979. Data tersebut, menurut mereka, hanyalah contoh dari ratusan bidang tanah lain yang sudah sah diganti rugi, namun kembali disertifikatkan.
Muhammad Marasabessy, koordinator umum Front Demokrasi Maluku, menyesalkan lemahnya pengawasan pemerintah daerah terhadap aset milik negara. Ia menuding ada upaya sistematis dari oknum tertentu untuk mengaburkan arsip dan data penting demi kepentingan pribadi. “Kami menyebut nama Kolonel Pietrs sebagai studi objek untuk membuktikan bahwa data dan peta tata letak tanah yang sudah diganti rugikan sepanjang Jalan Jenderal Sudirman terarsip rapi. Sayangnya ada oknum yang dengan sengaja mengaburkannya,” ujarnya.
Dalam aksi tersebut, massa menyampaikan tuntutan kepada tiga institusi. Kepada Gubernur Maluku, mereka mendesak adanya langkah hukum, politik, dan administratif untuk menertibkan kembali aset negara serta berkoordinasi dengan aparat penegak hukum guna menyeret para pelaku mafia tanah ke meja hijau. Mereka juga meminta evaluasi terhadap SKPD terkait, khususnya BPKAD dan Biro Hukum, yang dinilai lalai mengamankan aset daerah.
Kepada Kejaksaan Tinggi Maluku, massa menuntut pembentukan tim khusus pemberantasan mafia tanah, pemanggilan serta pemeriksaan oknum BPN yang terlibat, penelusuran aliran dana, hingga penahanan terhadap pihak-pihak yang terbukti bermain dalam penerbitan sertifikat ilegal. Mereka juga mendorong agar Kejati Maluku menjadikan kasus ini sebagai prioritas nasional melalui koordinasi dengan Kejaksaan Agung.
Sementara kepada BPN Kota Ambon, massa menuntut pertanggungjawaban penuh atas penerbitan sertifikat ilegal, pembatalan sertifikat bermasalah, serta evaluasi terhadap pejabat yang memerintahkan pengukuran meski sudah ada teguran resmi dari pemerintah provinsi. Mereka juga meminta Kementerian ATR/BPN turun tangan langsung membenahi struktur BPN Kota Ambon dan membangun sistem digitalisasi agraria yang transparan untuk menutup celah praktik mafia tanah.
Aksi di tiga titik tersebut berlangsung dengan pengawalan ketat dari aparat Polresta Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease. Setelah menyampaikan orasi dan menyerahkan pernyataan sikap, massa aksi membubarkan diri dengan tertib.***