Ambon, CakraNEWS.ID— Pemerintah Provinsi Maluku menaruh perhatian serius terhadap tingginya angka kasus HIV di daerah tersebut. Gubernur Maluku Hendrik Lewerissa menegaskan bahwa orang dengan HIV/AIDS (ODHA) tidak boleh mengalami diskriminasi dalam bentuk apa pun, termasuk dalam akses layanan transportasi laut dan udara, khususnya menjelang perayaan Natal 2025 dan Tahun Baru 2026.
Penegasan itu disampaikan Gubernur saat coffee morning bertema Kesiapan Pemerintah Provinsi Maluku Menjelang Natal dan Tahun Baru yang digelar di Lantai VII Kantor Gubernur Maluku, Rabu (17/12/2025).
“Status kesehatan tidak boleh dijadikan alasan untuk menolak pelayanan. Semua warga negara memiliki hak yang sama. Negara wajib melindungi, bukan mengucilkan,” tegas Lewerissa.
Gubernur mengungkapkan, berdasarkan data Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Maluku, jumlah kasus aktif HIV di daerah ini mencapai sekitar 6.000 orang dari total populasi kurang lebih 1,9 juta jiwa. Secara rasio penduduk, angka tersebut dinilai cukup tinggi dan memerlukan penanganan serius serta terintegrasi lintas sektor.
“Ini fakta yang mengejutkan dan tidak boleh ditutup-tutupi. Kita harus jujur melihat persoalan ini agar bisa ditangani secara tepat,” ujarnya.
Meski demikian, Lewerissa menekankan bahwa stigma dan pengucilan terhadap ODHA justru menjadi hambatan terbesar dalam upaya penanggulangan HIV. Menurutnya, diskriminasi dapat membuat penderita enggan mengakses layanan kesehatan dan memperburuk situasi.
“Yang sering kali lebih berbahaya bukan hanya virusnya, tetapi stigma. Stigma hanya akan memperparah keadaan,” katanya.
Gubernur juga menegaskan bahwa HIV tidak menular melalui sentuhan fisik, makan bersama, atau interaksi sosial sehari-hari. Oleh karena itu, segala bentuk pengucilan terhadap ODHA dinilai keliru dan bertentangan dengan nilai kemanusiaan serta hak asasi manusia.
“Pengucilan lahir dari ketidaktahuan. Negara harus berdiri melawan praktik-praktik seperti ini,” tegasnya.
Sebagai langkah pencegahan, Pemerintah Provinsi Maluku akan memperkuat edukasi publik dan kampanye kesadaran, terutama bagi generasi muda. Program tersebut direncanakan menyasar pelajar tingkat SMP dan SMA agar memahami risiko, cara penularan HIV, serta pentingnya perilaku hidup sehat dan bertanggung jawab.
“Kita tidak bisa menyelesaikan persoalan ini dengan diam atau menghakimi. Edukasi adalah kunci pencegahan,” ujar Lewerissa.
Ia juga menegaskan bahwa HIV tidak selalu berkaitan dengan perilaku tertentu. Dalam banyak kasus, perempuan dan ibu rumah tangga justru menjadi korban akibat penularan dari pasangan.
“Ini bukan semata isu kesehatan, tetapi juga persoalan keadilan dan kemanusiaan. Pemerintah harus hadir dan berdiri di pihak korban,” pungkas Gubernur.***
