Ambon, CakraNEWS.ID— Laut biru yang membentang, hutan lebat yang masih terjaga, hingga pesisir yang dihiasi mangrove dan terumbu karang, membuat Maluku bukan hanya dikenal sebagai lumbung ikan nasional, tapi juga sebagai salah satu provinsi dengan kekayaan ekologis terbesar di Indonesia.
Potensi ini kini menjadi modal penting saat Maluku meneguhkan langkah menuju pembangunan rendah karbon berketahanan iklim.
Selama dua hari, 15–16 September 2025, Ambon menjadi tuan rumah dialog kebijakan strategis yang mempertemukan berbagai pihak: pemerintah pusat, DPRD, pemerintah daerah, pelaku usaha, hingga masyarakat sipil.
Forum yang diinisiasi Kementerian PPN/Bappenas bersama Pemerintah Inggris ini menandai komitmen baru untuk mempercepat transformasi pembangunan hijau di wilayah kepulauan.
“Dialog kebijakan ini menjadi momentum penting untuk mempercepat implementasi pembangunan rendah karbon.”
“Maluku punya posisi strategis dengan potensi energi terbarukan dan sumber daya kelautan yang besar. Kami optimis Maluku dapat menjadi model implementasi yang inklusif dan berkelanjutan,” kata Deputi Bidang Pangan, SDA, dan Lingkungan Hidup Bappenas, Leonardo A. A. Teguh Sambodo.
Angka-angka memang berbicara banyak. Sektor perikanan menyumbang 58 persen PDRB Maluku, sementara 87 persen warganya bergantung pada pertanian, kehutanan, dan perikanan.
Maluku juga menyimpan tutupan hutan seluas 3 juta hektare lebih serta ekosistem karbon biru seluas 1,2 juta hektare. Dua aset besar ini bukan hanya menopang ekonomi lokal, tapi juga menjadi penyerap karbon yang krusial dalam menghadapi perubahan iklim.
Meski demikian, jalan menuju pembangunan rendah karbon tak selalu mulus. Laporan Provincial Context Assessment for LCDI mencatat, kebijakan yang masih terbatas dan partisipasi pemangku kepentingan yang belum optimal menjadi tantangan utama.
Namun, di balik itu tersimpan peluang besar untuk memperkuat tata kelola, fondasi, dan kapasitas agar agenda ini semakin inklusif.
Direktur Lingkungan Hidup Bappenas, Nizhar Marizi, menekankan pentingnya kesadaran jangka panjang.
“Integrasi agenda pembangunan rendah karbon dalam perencanaan daerah bukan sekadar kewajiban administratif. Dengan target pengurangan emisi 60,93 persen pada 2030, Maluku bisa menjadi contoh nyata bagi provinsi lain menuju Net Zero Emission 2060,” ujarnya.
Bagi Maluku, pembangunan rendah karbon bukan hanya soal angka emisi, tetapi juga tentang menjaga laut, hutan, dan tanah yang menjadi sumber kehidupan warganya.
Jika berhasil, provinsi kepulauan ini bisa berdiri di garis depan, menunjukkan bahwa ekonomi hijau dan ketahanan iklim bisa berjalan seiring.***