SEPATU UNTUK PENDIDIKAN (Kerapuhan Dari Bawah)

Community Hiburan

Oleh:Callin Leppuy

Ambon, 02 Juli 2020

Maluku- Membaca kegelisan bang Ikhsan Tualeka dalam tulisan pendeknya pada dinding ‘facebook’ yang bertajuk “Pendidikan yang Menjawab Kebutuhan” membuat saya merasa perlu untuk meresponsnya guna membangun dialektika nalar mengurai benang kusut dunia pendidikan kita agar menemukan dalil-dalil dan hukum-hukum logika baru yang inheren sehingga terdapat persenyawaan antara subjek dan objek, partikular dan universal, esensi dan eksistensi, substansi dan aksiden bahkan teks, konteks dan konten.

Saat Hiroshima dan Nagasaki diporak-porandakan sekutu dengan bom atom pada perang dunia ke-2, Kaisar Jepang lantas menanyakan kepada bawahannya, ‘berapa jumlah guru yang tersisa’.

Ia tidak bertanya berapa tentara atau persenjataan yang tersisa. Ia sadar betul satu-satunya hal yang dapat membuat negeri Sakura itu bangkit dan survive kembali adalah Pendidikan dan Guru menjadi aktor kunci. Rasanya mungkin pertanyaan sang Kaisar itulah yang membuat Jepang menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia saat ini dengan kemajuan sektor pendidikan yang mumpuni. Penting sekali untuk belajar dari Jepang terutama dalam hal pengelolaan sistem pendidikannya.

Jepang adalah satu dari sedikit negara yang konsisten dengan pendidikan. Mereka percaya bahwa ternyata bukan senjata yang dapat membuat mereka tetap bertahan bahkan diperhitungkan kelak tetapi pendidikan, terutama guru adalah alasan yang dapat membuat mereka menjadi bangsa yang turut menentukan gerak peradaban dunia. Dan itu terbukti. Sebelum China menjadi great power, Jepang justru sudah mengenyamnya bahkan sampai saat ini bangsa Samurai itu masih tetap disegani dunia.

Pendidikan formal (formal aducation) memang merupakan sarana “memanusiakan manusia” yang sangat fundamen. Dengan pendidikan, vitalitas manusia dapat ditumbuhkembangkan guna menjadi insan yang tidak saja berdaya guna namun kelak berhasil guna di tengah-tengah masyarakat.

Lantas bagaimana dengan pendidikan kita? Pasti semua orang mengerti dan tahu jawabannya apabila berkaca pada potret buram dunia pendidikan di negeri ini. Diketahui bahwa salah satu aspek fundamen dari penyelenggaraan sistem pendidikan kita adalah “Kurikulum”.

Kurikulum secara sederhana dipahami sebagai skenario besar di sektor pendidikan tentang apa yang akan dicapai dari penyelenggaran sistem pendidikan. Apabila bertolak dari fakta bongkar pasang dan tambal sulam kurikulum serta beberapa kebijakan teknis yang salah arah yang acapkali terjadi di negeri ini, kita akan akan sampai pada kesimpulan bahwa ‘Konsistensi’ adalah kata kunci dari penyelenggaran pendidikan kita. indonesia adalah negara yang paling tidak konsisten dengan kurikulum.

Setiap pergantian rezim dan Menteri Pendidikan, lihatlah, pasti kurikulum berubah. Benar bahwa harus ada penyesuaian dan persesuaian dengan konteks perkembangan masyarakat global tetapi tidak lantas mengubah seluruh struktur metode kurikulumnya. Mengubahnya sama saja sedang mengubah dan mengacak-acak sistem logika berpikir pelajar. Secara hiperbola, manusia/pelajar ibarat komputer. Jika diotak-atik sembarangan dengan memasukan berbagai aplikasi dan data, akan membuatnya semakin berat, lambat bahkan mendatangkan virus yang merusak softwarenya. Software (perangkat lunak) itulah yang yang pada manusia disebut ‘Otak’ atau brain, imperiumnya logika. Apabila otak sebagai softwarenya manusia sudah rusak, maka tampilan luarnya (hardware) pasti rusak pula.

Sekolah yang bocor, minim guru, tak ada perpustakaan, anak-anak yang tak pakai sepatu saat ke sekolah, tak pakai seragam, pelajar yang tak bisa baca dan tulis adalah beberapa fakta hardware sistem pendidikan yang rusak akibat kerusakan software tersebut.

Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Maluku seperti yang disinggung bang Ikhsan dalam sajian data BPS pada februari 2019 yang menempati angka 6,91 persen sebetulnya adalah output dari sistem pendidikan yang inkonsistensi pada norma dan kerangka dasar kurikulum yang telah diatur yang mengakibatkan kemampuan meneropong masa depannya hanya sampai di pelupuk mata.

Belum lagi jika dibuka lembaran tentang kebijakan politik anggaran, khususnya postur APBN untuk sektor pendidikan yang relatif besar tapi pembagiannya jelas tak adil untuk daerah-daerah tertentu seperti Maluku Raya. Ironisnya alokasi anggaran tersebut tak sebanding dengan tuntutan perkembangan masyarakat termasuk tuntutan geografis dan pengelolaan sumber daya alam sehingga melahirkan disparitas yang kasat mata di dunia pendidikan.

Kalau dianalisis lebih jauh dalam kanal nalar kita, sedikitnya terdapat dua penyebab turunan, yaitu; pengklasifikasian sekolah dan penyelenggaraan sistem pendidikan yang terlalu top down sentris.

Satu kenyataan yang sungguh ironis adalah kebijakan klasifikasi sekolah seperti adanya sekolah unggulan (SD unggulan, SMP unggulan dan SMA unggulan) dan sekolah non unggulan sebetulnya adalah awal dari negara menciptakan kesenjangan sumber daya manusia.

Mungkin itu baik bagi dalam beberapa aspek, tetapi dalam hal menciptkan generasi yang berdaya saing, pemberlakuan seperti itu justeri berbahaya karena menciptakan gab pada generasi. Karena secara operasional pasti anggaran, fasilitas pendukung pembelajaran dan guru profesional di sekolah unggulan jauh lebih lengkap bahkan sempurna ketimbang sekolah yang hanya biasa-biasa saja (bandingkanlah antara SMA unggulan Siwalima dan SMA lain yang ada di pulau-pulau terpencil di Maluku).

Bahkan pada sekolah-sekolah unggulan di jawa misalnya, tak jarang mereka diajari guru terbang yang didatangkan dari luar negeri, termasuk studi banding dan pertukaran pelajar antar siswa dengan negara lain. Hebat kan sekolah unggulan? Sementara sekolah yang biasa-biasa saja hanya menjalankan tugas umumnya yaitu guru mengajar dan siswa belajar.

Selebihnya, kalau ada siswa yang bagus secara intelektual, hanyalah hasil dari seleksi alam bukan cipta karya sekolah yang adalah proses yang “disengajakan”. Artinya siswa tersebut yang memacu dirinya untuk giat belajar, apalagi kalau niat itu ditopang dengan ekosistem keluarga yang mendorong anak untuk terus bejalar di rumah. Tak ada masalah dengan sekolah kejuruan karena itu salah satu kebutuhan untuk menciptakan manusia yang adaptif dan inovatif.

Itulah cara negara menciptakan kesenjangan logika pada generasi kita. Harusnya semua sekolah diseragamkan sehingga kebijakan anggaran, fasilitas dan program pembelajaran seragam pula sehingga melahirkan generasi yang kemampuan berpikirnya persis sama hebat, bukan diklasifikasi.

Hal yang lain adalah kebijakan di sektor pendidikan nampaknya terlalu Top Down sentris. Semua hal ikhwal yang berkenaan dengan pengembangan sistem pendidikan diatur jakarta tanpa melihat fakta dan tantangan sekolah-sekolah di daerah pinggiran, terpencil dan minim akses.

Banyak sekali generasi di Maluku Raya yang akhirnya gagal dan tertinggal dalam prestasi, putus sekolah dan menganggur akibat dari kebijakan sistem pendidikan yang terlalu top down sentris. Harusnya pengelolaan dan penyelenggaraan sistem pendidikan mulai dari metode kurikulumnya sampai kepada teknis pelaksanaannya bersifat Bottom Up sentris sehingga realitas dan tuntutan dari bawah yang dikedepankan dan dijadikan landasan analisis bagi pengembangan sistem pendidikan nasional agar bukan saja manusia Jawa atau Sumatera yang cerdas tetapi juga manusia Maluku Raya dan Papua kuga cerdas. Bukan berarti tak ada generasi Maluku Raya atau Papua yang cerdas tetapi secara persentase tentu sangat jauh.

Wajar jika Rizal Ramly dalam salah satu diskusi di ILC berkata bahwa: “di zaman kolonial pendidikan di Maluku keempat terbaik, makanya banyak profesor dan Doktor dari Maluku, tapi sekarang justru keempat terburuk”. Kalau pendidikan di Maluku Raya, mulai dari SD sampai Perguruan Tinggi sudah baik, tak mungkin banyak dari kita yang memilih mengenyam pendidikan di luar Maluku, khususnya di Jawa.

Itu sebabnya kebijakan pendidikan yang sifatnya top down sentris justru akan membunuh daerah-daerah yang jauh dari jakarta. Ibarat teori Trickle Down Effect yang berlaku di dunia pembangunan ekonomi, hal itu juga berlaku di sektor pendidikan karena induknya adalah “top down sentris”.

Akibat dari carut-marutnya penyelenggaraan sistem pendidikan yang demikian hebatnya, dimana pada level pusat kerap muncul inkonsistensi pada kurikulum alias pergantian kurikulum, kebijakan politik anggaran yang tak adil serta kebijakan miring lainnya di pusat mengakibatjan kerapuhan sistem pendidikan yang berawal dari bawah.

Hal itu terlihat jelas pada gambar yang saya sertakan pada tulisan ini. Pada gambar ini nampak saya tengah berpose bersama sejumlah anak-anak SD di salah satu Fanua (Desa) di pedalaman Kepulauan Aru. Mereka tampak tak pakai sepatu ke sekolah. Bukan karena mereka tak punya sepatu atau orang tua mereka tak mampu membeli sepatu. Mereka justru punya sepatu.

Tapi ironisnya adalah mereka sama sekali tak mau menggunakan sepatu ke sekolah karena terbiasa tanpa sepatu atau alas kaki lainnya. Mereka juga terlihat kurang gizi bahkan mungkin tak bisa membaca dan menulis. Seolah mereka bersekolah hanya demi memenuhi kebutuhan pertemanan. Ada teman bermain yang bersekolah dan mereka juga ikut. Tetapi mereka sama sekali tak tahu apa tujuan sederhana mereka bersekolah. Kalau seperti ini, bukankah pendidikan telah menjadi predator bagi anaknya sendiri? Betapa berdosanya negara dan sistemnya ini?

Kalau mereka tak mau pakai sepatu ke sekolah, justeru sekolah sebagai lembaga pendidikanlah yang disalahkan karena tak mampu mengajarkan anak-anak tentang pentingnya menggunakan sepatu ke sekolah jika kita mengacu dari tugad mulia pendidikan yaitu “Memanusiakan Manusia”. Saya percaya kenyataan miris seperti ini banyak terjadi di daerah lain di Maluku Raya ini. Apabila model pengelolaan sistem pendidikan masih seperti yang nampak sekarang, maka kenyataan seperti ini tak akan berubah pada generasi yang akan datang sekalipun.

Seperti halnya tampilan anak-anak pada gambar ini, begitul pula wajah pendidikan kita yang mengalami “Kerapuhan dari Bawah” akibat beberapa penyebab yang saya identifikasikan di atas selain ada yang lain yang mungkin lebih berpengaruh.

“Tak pakai sepatu saat ke sekolah” adalah gambaran sederhana yang memperlihatkan bahwa pendidikan yang tengah berlangsung di negeri ini memang sedang tidak benar bahkan sakit akut. Mungkin karena obatnya berganti-ganti terus.

Karena itu pendidikan harus dilihat dalam kerangka pengembangan masyarakat. Mengacu pada pandangan Irwin T. Sanders (1958) dalam bukunya yang berjudul “The Community: An Introduction to Social Sistem mengetengahkan bahwa pengembangan masyarakat harus dilihat sebagai proses, metode, program dan gerakan.

Apabila pendidikan dipandang dalam kerangka pikir Sanders, maka sebagai sebuah proses, pendidikan haruslah berkesinambungan dalam tahap demi tahap. Tidak boleh terputus-putus terutama dalam hal kurikulum. Perubahan yang terjadi dalam kurikulum sebetulnya hanya untuk menegaskan perbaikan dan orientasi bukan merubahnya secara total. Sebagai metode, pendidikan memiliki target dan sasaran yang berbasis pada pendekatan-pendekatan terukur dengan tetap mengarusutamakan fakta-fakta dari bawah untuk dilaksanakan secara konsisten dan akuntabel.

Sebagai program tentu pendidikan memiliki agenda setting yang wajib dilakukan guna mencapai target makronya. Dan sebagai sebuah gerakan, pendidikan sebetulnya memikul misi memanusiakan manusia dan pemberantasan buta huruf guna menciptakan generasi yang berdaya saing.

Itu sebabnnya, kalau bang Ikhsan melihat pendidikan sebagai alat untuk menjawab kebutuhan, saya justru melihatnya sebagai alat untuk menjawab masa depan yang dilakukan secara konsisten, terukur, tertanggungjawab, bottom up sentris dan bias dari praktek klasifikasi lembaga pendidikan (sekolah).

Apabila itu dilakukan secara baik dan kontinu, sinergi dan integratif, maka kita telah turut memperbaiki kerapuhan di dunia pendidikan yang berawal dari bawah itu.

“Pada titik tertentu sebetulnya kita telah MEMBERI SEPATU UNTUK PENDIDIKAN itu sendiri”.

Terima kasih bang Ikhsan karena telah membagi kegelisahan yang menggugah saya untuk mengurai kegelisahan saya tentang tema yang sama, yaitu “Pendidikan”. Semoga dilalektika ini diikuti yang lain.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *