Ambon, CakraNEWS.ID— Gunung Botak di Pulau Buru kembali menjadi cermin buram tata kelola tambang di Maluku. Setelah bertahun-tahun menjadi kawasan tambang yang penuh dinamika, kini muncul wajah baru yang diklaim lebih tertib dan berkeadilan dan tentu legal. Pemerintah mengeluarkan izin usaha pertambangan rakyat (IUPR) bagi sepuluh koperasi yang disebut berada di bawah pendampingan PT Wanshuai Indo Mining. Namun di balik narasi manis pemberdayaan dan legalitas itu, tersisa satu persoalan mendasar: tidak pernah ada rencana penambangan yang dibuka ke publik.
Pemerhati isu lingkungan dan investasi Maluku, Muhammad Pahrul, Senin (20/10) tegas menyatakan, situasi ini sebagai bentuk baru dari penguasaan sumber daya alam yang dibungkus dengan jargon legalitas.
Ia menyebut, PT Wanshuai Indo Mining boleh saja tampil dengan citra formal dan argumentasi hukum, tetapi di lapangan, semua itu hanya memperlihatkan legalitas yang timpang dan manipulatif.
“Wanshuai selalu bicara soal izin resmi dan pendampingan koperasi. Tapi publik tidak pernah tahu seperti apa rencana penambangan mereka. Tidak ada dokumen yang bisa diverifikasi, tidak ada paparan teknis. Pendampingan tanpa transparansi itu bukan pemberdayaan, tapi penguasaan terselubung,” tegas Pahrul, yang juga aktif di Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Maluku itu.
Dia tidak menapikan, PT Wanshuai Indo Mining tercatat memegang Izin Pengangkutan dan Penjualan (IPP). Ini menjadikannya satu-satunya gerbang resmi untuk hasil tambang dari Gunung Botak.
Perusahaan ini mengklaim hanya membantu koperasi agar lebih tertib dan ramah lingkungan. Namun, menurut Pahrul, status itu justru menimbulkan tanda tanya besar karena hingga kini tidak ada rencana penambangan atau mine plan yang pernah dipublikasikan oleh sepuluh koperasi dimaksud.
Padahal lanjut dia, Pasal 65 Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 dengan tegas menyebut bahwa setiap pemegang IPR wajib menyusun dan menyampaikan rencana penambangan sebelum melakukan kegiatan.
Rencana itu harus memuat metode kerja, peralatan yang digunakan, jadwal operasional, kebutuhan tenaga kerja, serta permodalan. Semua disusun berdasarkan dokumen pengelolaan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) yang ditetapkan Kementerian ESDM. Kewajiban itu bahkan ditegaskan kembali melalui Keputusan Menteri ESDM Nomor 148.K/MB.01/MEM.B/2024 yang secara khusus mengatur pengelolaan WPR di Maluku. Artinya, izin semata tidak cukup. Tanpa rencana yang jelas dan dapat diaudit, semua aktivitas pertambangan bisa dianggap melanggar ketentuan hukum.
“Kalau mereka benar punya izin yang masih berlaku, mana rencana penambangannya? Mana bukti kegiatan tambang resmi? Ini sudah lewat lebih dari setahun sejak izin diterbitkan pada Agustus 2024, dan tidak ada aktivitas yang terverifikasi. Secara hukum, izin itu otomatis kehilangan kekuatan. Jadi apa dasar Wanshuai?” tanya Pahrul retoris.
Pahrul menyebut, apa yang terjadi di Gunung Botak hari ini adalah bentuk legalitas di atas kertas, sah secara dokumen, tapi kosong dari semangat keadilan sosial. Nama koperasi dipinjam untuk memberi wajah rakyat pada proyek yang sepenuhnya dikendalikan korporasi.
“Dulu rakyat menambang tanpa izin, tapi setidaknya mereka tahu untuk siapa mereka bekerja. Sekarang izin ada, tapi rakyat hanya jadi penonton di tanah sendiri. Koperasi dijadikan tameng, sementara perusahaan mengatur produksi, logistik, bahkan pengangkutan emas,” ujarnya.
Ia menilai, situasi ini adalah bentuk kegagalan pemerintah dalam memastikan tata kelola sumber daya yang berpihak pada masyarakat lokal. Regulasi yang seharusnya menjadi alat pengawasan justru dipelintir menjadi pembenaran administratif bagi kepentingan korporasi.
“Gunung Botak bukan butuh pendampingan yang hanya indah di kertas. Ia butuh keberpihakan nyata terhadap rakyat Buru, mereka yang sejak lama menggantungkan hidup di sana dengan keringat sendiri. Pemerintah harus berani memeriksa ulang seluruh izin, bukan sekadar menerima laporan dari perusahaan,” desak Pahrul.
Menurutnya, masyarakat berhak mendapatkan informasi penuh tentang operasi pertambangan di wilayah mereka. Publik perlu tahu di mana peta kerja koperasi itu, berapa luas lahan yang dikelola, apa metode pengolahan yang digunakan, dan siapa yang bertanggung jawab atas dampak lingkungannya. Tanpa transparansi, istilah “tambang rakyat” hanya menjadi narasi pembenaran untuk operasi korporasi.
Pahrul menegaskan, bila PT Wanshuai Indo Mining dan sepuluh koperasi pendampingnya tidak dapat menunjukkan dokumen rencana penambangan mereka, maka seluruh aktivitas di Gunung Botak patut dianggap tidak sah secara hukum dan etika lingkungan.
“Legalitas itu bukan sekedar tanda tangan di atas surat. Ia harus dibuktikan dengan rencana yang terbuka, tanggung jawab sosial, dan kejelasan siapa yang diuntungkan. Kalau semua itu tak ada, maka yang legal hanya kertasnya, bukan niatnya,” tutup Pahrul.***