Tak Usah Dibunuh, Kami Sudah Mati, (Refleksi 80 Tahun Indonesia Merdeka oleh Anak Maluku)

Community Pendidikan

Riyadh Putuhena, Peneliti Muda YLBHI LBH Malang    

Opini, CakraNEWS.ID– Kecamatan Werinama, Kabupaten Seram Bagian Timur, Provinsi Maluku, masih di Indonesia. Tentu tidaklah akrab di telinga Anda. Maluku adalah salah satu dari delapan provinsi pertama di Indonesia, mungkin hanya pada hal ini kata Maluku paling sering diucapkan.

Setidaknya setahun sekali di dalam ruang kelas mata pelajaran sejarah, atau bisa dua tahun sekali itu pun ketika guru sejarah Anda menjadikan delapan provinsi pertama di Indonesia menjadi soal ujian akhir sekolah. Sisanya, Maluku entah hilang ke mana.

Dari mana Anda mengenal atau mendengar apa itu Maluku? Setiap dari Anda tentu memiliki pengalaman subjektif kapan pertama kali mendengar Maluku, mungkin saja dari merdunya suara Glenn Fredly, lincahnya gocekan Ramdani Lestaluhu atau bisa saja garangnya wajah debt collector yang menghantui. Namun, ada yang objektif dari Maluku. Ya, anak-anak sekolah di Werinama harus menantang maut untuk belajar matematika di sekolah.

Jika Anda beranggapan bahwa kalimat sebelumnya terlalu hiperbolik maka Anda amat keliru. Anak-anak sekolah itu harus menyeberangi sungai tanpa jembatan di pesisir pantai Seram Selatan saat debit airnya sedang meningkat di bulan Juli menyusul masuknya musim hujan. Tiap langkah kaki yang menyeberangi derasnya aliran air sungai sama artinya dengan bertaruh nyawa, entah hanyut terseret arus atau habis dilahap buaya muara. Anak-anak di Werinama diharuskan memiliki keterampilan ekstra untuk menahan derasnya aliran air sungai. Selain harus mengikuti kurikulum yang disusun oleh Menteri di Jakarta, mereka juga punya semacam kurikulum tersendiri yang didapatkan sepulang sekolah di musim hujan.

Belakangan dunia dilanda pandemi Covid-19 yang mengharuskan pertemuan fisik sebisa mungkin dihindari. Alhasil, dunia pendidikan mengubah model belajar mengajar. Yang semula bertatap muka menjadi virtual. Namun, jangankan untuk sekolah virtual, punya gawai yang kompatibel untuk meng-install berbagai macam aplikasi meeting online saja sudah seperti sebuah keistimewaan. Belum lagi soal kuota internet, dan sinyal yang kadang-kadang hilang entah ke mana ketika musim hujan.

Hal kecil nan teknis ini yang mungkin abai di kepala pejabat-pejabat Indonesia ketika menyusun kebijakan. Jendela kantor pembuat kebijakan mungkin saja terhalang gedung-gedung megah di sepanjang Jalan Sudirman-Thamrin Jakarta hingga khilaf –jika tak ingin dibilang lalai− dan lupa bahwa Indonesia itu dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote.

Nadiem Makarim menggagas program belajar dari rumah. Harapannya para pelajar tetap bisa bersekolah walau tak bisa bertatap muka. Sebuah terobosan yang sebenarnya biasa saja dan harus dibilang tidak memiliki muatan nilai kebangsaan karena sama sekali tidak mempertimbangkan aksesibilitas internet di daerah luar Pulau Jawa.

Kebijakan ini justru mempertegas ketimpangan dan sama sekali bukan merupakan solusi untuk menyelesaikan permasalahan pendidikan kita, utamanya sekolah-sekolah di wilayah yang sulit dijangkau. Nasib anak-anak Werinama bagai pepatah Jawa “maju catu, mundur ajur” (maju akan terluka, mundur akan hancur). Mereka seperti terpaksa memilih antara belajar dengan tatap muka bertaruh nyawa, atau belajar virtual dengan infrastruktur yang tidak memadai.

Anak-anak Werinama harus bertaruh nyawa untuk mengakses sekolah, di saat yang sama beranda YouTube kita disesaki konten tukar-menukar mobil mewah sekelompok orang kaya di negeri ini. Saat masyarakat perkotaan sedang merayakan work from home, bapak dan ibu dari anak-anak Werinama sedang gundah karena melaut tak bisa dikerjakan dari dalam rumah.

Saat para so called aktivis perkotaan sedang sibuk bicara tentang dinamika politik nasional dan menebak-nebak apa lembaga negara yang akan dibubarkan presiden, anak-anak Werinama sekali lagi tetap saja belum punya jembatan untuk aman berangkat dan pulang sekolah.

Pandemi Covid-19 seperti menguak tabir kemiskinan –jika tak ingin dibilang pemiskinan yang terus dipelihara− sekaligus mempertegas kebobrokan negara dalam membangun kualitas kehidupan warga. Statement Presiden Jokowi tentang percepatan pembangunan yang disiarkan lewat media nasional arus utama dan diamplifikasi para Buzzer harus dianggap mentah di hadapan anak-anak Werinama. Anak-anak ini sekadar dipandang sebagai angka-angka penyumbang suara pada pemilu lima tahunan dan dipersiapkan menjadi budak-budak korporat jika berani berangkat ke kota. Imajinasi negara untuk menjadikan anak bangsa yang ada di Werinama tidak lebih dari aksesoris yang dicetak di atas baliho calon kepala daerah yang nanti akan dirobohkan oleh Satpol PP saat memasuki masa tenang. Semakin menderita warga semakin variatif pula jargon kampanye para politisi.

Ben Anderson dalam Imagined Communities sedikit memberi gambaran mengapa Anda yang berasal dari Sumatera dan saya yang berasal dari Ambon walaupun kita yang sama sekali tidak memiliki keterikatan bahasa ibu dan suku dapat menjadi satu ikatan bangsa.

Ikatan tersebut dibangun lewat sekolah-sekolah yang mampu menciptakan sebuah realitas imajiner tentang bangsa. Lewat sekolah pula impian-impian kesejahteraan terus dipupuk agar suatu saat dapat terwujud menjadi kenyataan. Lantas mengapa anak-anak Werinama setelah menjadi Indonesia masih saja harus bertaruh nyawa untuk sekolah?

Ketimpangan yang Anda saksikan ini mungkin saja miris, tetapi tenang Werinama masih di Indonesia yang artinya terdapat beberapa kesamaan dengan wilayah-wilayah Indonesia yang lain.

Pertama, di depan ruang kelas yang terpampang masih tetap foto Ir. Joko Widodo dan KH. Ma’ruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedua, setiap lima tahun sekali tentunya selalu saja ada orang-orang yang berpakaian rapi, bertutur manis dan wangi menjanjikan kemajuan bagi masyarakat Werinama asalkan di bilik suara nama dan fotonya harus dicoblos.

Berangkat dari persamaan-persamaan tersebut muncul pertanyaan penting, ke mana negara selama ini? Kenapa untuk mendanai konser musik nir-faedah saja negara mampu, tapi membangun jembatan terasa begitu sulit? Mengapa Maluku hanya diperbincangkan ketika tambang minyak dibuka di blok Masela atau musim panen cengkeh telah tiba? Yang terpenting mau sampai kapan anak-anak Werinama bertaruh nyawa ke sekolah? Tentu hanya negara yang bisa sekaligus mampu menjawabnya.

Selamat memasuki bulan kemerdekaan, selamat menuju usia ke-80 bagi Indonesia. Delapan dekade Werinama menjadi Indonesia, delapan dekade pula Werinama hanya merintih dalam ketertinggalan, Akhirnya, tak perlu susah payah mengeruk kekayaan alam kami.

Tidak perlu buang-buang tenaga menghancurkan hutan adat kami. Kami tak perlu dibunuh, kami sudah mati. Salam dari kami, penghuni dasar klasemen daerah termiskin di Indonesia, Merdeka!***

Isi duluar tanggung jawab redaksi

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *